Definisi
Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana
keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang
lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik
merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya
dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu
bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan
produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn,
Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup
organisasi) adalah: Conflict
is a situation
which two or more people disagree over issues of organisational substance
and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang kurang lebih
memiliki arti bahwa konflik
adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap
suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan
timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan
soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status,
nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster
mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau
pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau
perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono(
1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya
ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu
interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak
timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam
mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau
norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya
interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan
untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat
memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan
berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau
tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan
sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan
aktualisasi diri.
4. Munculnya
tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut.
5. Munculnya
ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri,
prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah
terjadinya Konflik :
1. Konflik masih
tersembunyi (laten)
Berbagai macam
kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan
sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang
mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan
dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya,
kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai
yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang
dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt
conflict)
Muncul sebagai
akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat
secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk
mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya;
individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme
pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian
atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada
dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian
konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat
penyelesaian konflik
Jika konflik
diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan
kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa
berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas
kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu
(Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono
(1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1)
Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan
positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai
saling terpisah satu sama lain.
2)
Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan
terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang
sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan
tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami
konflik tersebut.
3)
Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau
lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu
sama lain.
Dalam hal ini,
approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling
kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan
ambigius
Di dalam
organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan
ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan
harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House
memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik
peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi
oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang
bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam
menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang
mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju
pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling
memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang
sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan
kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan
pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer,
manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari
ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai
sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan
gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan
berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak
misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak
dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun
menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau
tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam
konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang
logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang
paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan
terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah
konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang
rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan
pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak
positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai
sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam
menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen
tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu
jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja
meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini
terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis
pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi
secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti
terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi,
loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik
yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini
karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri,
penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier
dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya
sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan
(training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan
produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya
disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan
untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik.
Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya
karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol
berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir
menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal
atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau
perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan
tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa
memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi
pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk
konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa
tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya,
timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi,
maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri
bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap
jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja,
mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan
orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk
dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran
dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet,
kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan
memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan
kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat
perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian
teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka
kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus
memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan
rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh
perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya,
bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan.
Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat
membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota
tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan
perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka
perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang
karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama
kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang,
manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada
bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos
kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah
meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut
ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah
kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada
masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah
diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan
sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang
memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian
yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali
menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian.
Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan
arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian
masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke
langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika
mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah
konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang
lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila
wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan
hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan
pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada.
Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting.
Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik,
yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu
(Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik
dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal
Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik
dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama
kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah
(berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau
menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan
dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu.
Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih
atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam
campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga
mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai
hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu
perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan
konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator
tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan
rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy),
menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan
tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat
melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik
antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan
tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan
melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya
konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja
(jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk
mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang
relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication
barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan
kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter
karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan
pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima
oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan
persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan
segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan
interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari
ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian
konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam
organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat
dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving)
Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan
kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process
Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani
oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational
Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi
yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi
diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang
terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini,
manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam
hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya
mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.
Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan
sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi
bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi
bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara
menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik
Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan
sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut
ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung
melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada
masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada
kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach)
adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan
horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu
organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk
melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan
perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti
membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang
berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task
interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga
fungsi organisasi menjadi kabur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar